Sekala Niskala: Sebuah Perjalanan Untuk Kehilangan

Tantri resah. Adik kembar buncing, Tantra tergolek di rumah sakit. Entah penyakit apa yang menyerangnya. Tantri hanya tau, kembar buncingnya lemah tak berdaya dan Tantri semakin hari dimakan keresahan, ketakutan juga kerinduan.

Sesederhana itu premis cerita Sekala Niskala, film panjang arahan Kamila Andini ini. Kesederhaan itu kemudian dituangkan dalam bentukan yang cukup kompleks, indah, ngeri dan haru. Tidak berupa dialog-dialog panjang, tidak berupa adegan haru biru, namun Kamila Andini memilih ke jalur penceritaan yang… penuh simbol. Tidak hanya simbol, tapi film ini juga penuh dengan unsur budaya Bali dan berhubung saya bukan orang Bali (dan tidak megerti persis tentang kultur Bali), saya coba untuk mem”breakdown” suguhan film berdurasi 83 menit ini dari kacamata awam saja.

Sekala Niskala menyuguhkan premis cerita di atas dari dua sudut pandang. Sesuai judulnya, Sekala yang berarti terlihat dan Niskala yang berarti tidak terlihat (untuk selanjutnya, mohon koreksi jika ada kesalahan pengartian atau penulisan segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya Bali).

Di  dunia Sekala yang bisa diartikan dunia sadar kita, film akan bergerak mengikuti kehidupan Tantri yang takut ruang opname, senandung-senandung sang Ibu (yang diperankan sangat luar biasa oleh Ayu Laksi) dan tentu saja Tantra yang tergolek lemah. Sementara Niskala tersusun atas mimpi alam bawah sadar Tantri dengan obrolan bawah sadar bersama Tantra atau Tantra yang sedang menjadi dalang, tarian, hantu anak-anak penjemput Tantra, serta bulan. Secara pralel kita akan menyelami mimpi Tantri (dan Tantra) sekaligus menyimak kehidupannya.

Ini pandangan penonton awam, tapi baik dunia Sekala maupun dunia Niskala digambarkan begitu indah. Pada Sekala, kita akan menyaksikan kesedihan Tantri, dan kepedihan Ayu Laksmi. Ayu Laksmi memainkan perannya dengan sangat luar biasa. Sosok ibu yang kalut dan berusaha ikhlas dengan apa yang terjadi kepada anaknya. Selain sosok Ibu, tentu saja kita akan membututi kehidupan Tantri, yang lesu, lebih banyak diam da kehilangan semangat hidup saat mengetahui belahan jiwanya hampir tidak bernyawa. namun Tantri tetap berusaha agar Tantra tetap hidup dengan caranya dia sendiri.

Di dunia Sekala, adegan Ayu laksmi memandikan Tantri di sungai, adalah adegan terbaik di film ini. Kita akan ikut merasakan kepedihan yang dirasakan – baik oleh Ayu Laksmi atau Tantri – tanpa banyak kata, tanpa banyak dialog. Terkadang hanya berupa sesenggukan, kadang tatapan kosong dan seringkali gestur-gesture kasih sayang yang hanya dibalas dengan diamnya Tantra.

Lalu dalam Niskala, penonton masuk ke dunia imajiner Tantra – Tantri. Emosi lebih banyak diutarakan melalui simbol-simbol. Cerita Tantra ketika mendalang, tarian duet Tantra dan Tantri yang semarak , dialog Tantra yang penuh isyarat, kehadiran bulan yang makin redup dan gerombolan hantu anak kecil yang merangkak dan bergulung. Pada satu waktu, akan terasa sangat surealis (terlebih jika tidak paham budaya yang diangkat), namun di satu titik, penonton akan mengerti dengan sendirinya akan apa yang akan terjadi. Visual di dunia Niskala tentu saja lebih “dreamy”. Dengan banyak mengambil latar kolong langit dan persawahan yang berdesir pelan ditiup angin. Di satu momen, dunia Niskala juga akan digambarkan dengan rancak dengan tarian Tantra dan Tantri.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, Sekala Niskala bukan film yang cerewet dengan dialog. Banyak yang bilang ini film yang “almost quiet” dan saya setuju. Selain minimnya dialog, Kamila Andini juga banyak menggunakan suara-suara alam sebagai latar. Desiran angin, suara langkah, derap hentakan kaki ketika menari. Semua menyatu dengan baik. Suara-suara yang disuguhkan acap kali lebih ke berbisik. Mungkin ini usaha Kamila untuk membuat penontonnya lebih intim dengan apa yang sedang disaksikan. Berbisik, merasakan alam yang telah menyatu dengan dunia Tantra dan Tantri.

Satu hal sedikit menganggu adalah pemillihan tone warna di visualnya. Mendung (kalau pernah liat video Vice Indonesia di youtube, yah seperti itu tone warnanya). Sejujurnya saya tidak masalah dengan tone warna kelabu. Poin plusnya memang bisa menguatkan mood yang juga memang kelabu di sepanjang film. Namun ada beberapa momen dimana “filter” sedikit berlebihan dan mengaburkan visual yang harusnya lebih bisa memikat. Ini jujur pendapat saya pribadi ya, seriously, silinder 3+ dan disuguhkan visual yang gelap-hazy-kelabu membuat saya harus terus-terusan memicingkan mata – jika tidak mau terlewat semua detailnya.

Tapi bisa jadi itu maksud Kamila. Tidak semua hal harus ditampilkan secara banal. Bahkan kadang sedikit tipis perbedaan Sekala dan Niskala. Keduanya menyatu, mengalun dan saling mengisi. Pada akhirnya, menyimak Sekala Niskala ibarat menyimak sebuah puisi. Tidak perlu mengerti setiap kata-katanya, kamu hanya harus merasakannya.

Tinggalkan komentar