AADC2 : Antara Bandara, Udara dan Ruang Hampa di Dalamnya

Review mengandung spoiler

Keempatnya berkumpul dalam suatu galeri, seorang mamah-mamah muda, mamah yang “lebih senior”, troubled ones yang baru keluar dari panti rehab dan idola kita semua, yang akan menikah. Geng Cinta yang jadi kiblat formasi geng cewek-cewek SMA medio 2000-an, akan berangkat ke Jogja untuk liburan.

Di belahan dunia yang lain, pria dingin sedang galau di depan laptop dan tumpukan buku Harumi Murakami-nya. Esoknya dia didatangi seseorang yang berhubungan dengan masa lalunya. Dengan gamang, Rangga, “pahlawan puisi” anak SMA jaman dahulu ini memutuskan pulang ke Indonesia, tepatnya di Jogja, untuk menemui his long lost mother.

Begitu sekiranya awal cerita AADC2, kandidat film terlaris di tahun 2016. Setelah mengetahui adanya sekuel ini, saya sengaja mencoba memasang ekspektasi di batas paling bawah. Menyiapkan ruang untuk setiap cela yang akan muncul, karena…. sudahlah, walaupun AADC memang memiliki open ended ending, sisi magicalnya begitu terasa. Rudi Soejarwo dan Mira Lesmana sets the bar very high.

Mulai dari cerita yang dijalin. Ceritanya bisa dibilang rapi mengalir, meski tidak rapat-rapat amat. Beberapa karakter diberi background story masing-masing, dari Cinta – Rangga hingga Milly, Carmen dan Mauren. Ini sisi positif, karena kita akhirnya melihat bahwa mereka juga manusia yang berproses. Perbedaan paling besar ada di tokoh Carmen (yang sebelumnya cuma digambarkan tomboy wes bar). Dia lebih dewasa dan paling care ke yang lainnya. Secara teknis, dia menggantikan posisi Alya. Duh, maaf, saya tak mau bahas Alya di sini 😦

Intinya, saya senang AADC2 meski ya memang tentang Cinta dan Rangga, namun tidak melupakan penyangga lain cerita utama, yaitu Geng Cinta.

Beberapa part terasa sangat sinetron dengan segala macam “kebetulannya”. Ada sedikit vibe “Hari Untuk Amanda” di pertengahan film dan mulailah saya mencium kejanggalan film ini. Dialog yang menurut saya sangat aneh. Dialog yang disematkan, terutama di adegan kafe legendaris itu layaknya isi buku wajib Bahasa Indonesia kelas 6 SD. Untuk adegan sebel sama mantan yang ninggalin dan php-in berpuluh-puluh purnama, dialog Cinta kaku banget. Ditambah lagi, bad marketing effect karena ini harusnya adegan penting dan intens, namun penonton justru ketawa karena apalagi kalau bukan inget meme-meme yang bertebaran sebelumnya.

Siklus sebel, suka, sebel, suka menurut saya mah gak masalah, tapi berasa sekali repetitifnya. Cara Cinta “berdamai” dengan Rangga terlalu SMA. Sama seperti AADC yang pertama. Mereka (Cinta dan Rangga), kayak Jakarta, berubah, namun sebetulnya tidak berubah….

AADC2 sedikit tertolong dengan gaya penceritaan yang sedikit mengarah ke road movie. Kita akan diajak mengililingi Jogja versi hipster. Nonton teater Papermoon, Klinik Kopi, hotel Greenhost (ini lagi hits banget ya), gang-gang di wilayah Prawirotaman hingga Puthuk Setumbu akan membuat kita terbuai dengan sisi Jogja yang lainnya.. Menurut saya, adegan di Puthuk Setumbu adalah sisi magis film ini. Pengadeganan yang sangat indah. Tentu saja ini terbantu landscape keren yang ditangkap Yadi Sugandi. Ah, poin plus!

Bagian lain yang menurut saya “ngena” justru adegan Rangga dengan mamanya. Emosi Rangga sangat kuat dan menjadi bagian terbaik di film ini. Oiya, sub plot Rangga dan mamanya ini juga menurut saya menarik dikulik karena kita tidak tahu banyak tentang mamanya di film pertama.

Tapi itu saja.

Babak final dari AADC2 menurut saya sangat, euh, terlalu dipanjang-panjangkan. Ada satu titik yang menurut saya “oke, that’s it, kelar dong” eh ternyata masih lanjut. Lantunan puisi Aan Mansyur juga terasa  “hampa” dan tidak berpotensi untuk mendorong anak jaman sekarang jadi gandrung puisi lagi. Bukannya jelek, bagus malah. Namun puisi bukan media populer untuk mengutarakan perasaan. Jadi sedikit gak relate-able pada jaman dimana mereka sudah dewasa. Beda ketika saat mereka SMA karena karakter naifnya begitu terasa.

Banyak stock shoot yang gak penting (karena gak beri nilai lebih di cerita dan hanya sekedar  “ini lho kite lagi di Brooklyn” atau “ini lho koleksi keren Eko Nugroho”) dan cuma berakhir manjangin durasi. Beberapa adegan yang harusnya “slow motion” entah kenapa outputnya jelek. Seperti turun framerate. Oiya, product placement juga sedikit mengganggu di beberapa bagian.

Sontrek lantunan Melly surprisingly sangat menolong. Jaminan, ketika lagu “Denting’ diputar, semua langsung inget AADC pertama. Sentilan nostalgia bekerja di sini. Justru dari soundtracknyalah yang paling berhasil membawa saya ingat bahwa ini film AADC dengan segala kedigdayaannya.

Oiya, saya juga pasti nunggu akting mba Distro dan Nicholas, namun justru Sissy Priscilla (Milly) dan Adinia Wirasti (Carmen) yang paling oke. Mba Dian dan Nicholas oke, tapi sedikit tenggelam oleh akting Adinia yang kuat banget terutama di awal film. Karakter Milly jadi scene stealer disini, karena hanya dialah yang membuat AADC2 terasa real dengan dialognya yang paling normal. Tapi mba Dian tetep cantik kok, apalagi pas adegan galeri. Gak ada cela.

Lalu apakah AADC2 layak tonton? tentu saja. Untuk sekedar memberi jawaban pasca event AADC pertama, film ini oke meski ada kekurangan ini itu. Namun jika ditanya apakah AADC2 mampu beri impact yang lebih kuat dari AADC pertama? jawabnya jauh panggang dari api. Udah ah, saya ingin menyelami hampanya bandara dan udara dulu.

2 Comments Add yours

  1. Red berkata:

    Impact yang cukup kuat dari AADC 2 mungkin akan jadi penyebar masif virus ‘Balen’.

    Suka

  2. tipsgizi berkata:

    nice review nanda…

    Suka

Tinggalkan komentar