Marlina dan Kegelisahan Yang Tidak Pernah Habis Babaknya

Jadi tuntas sudah, salah satu bucket list saya tahun ini. Nonton Marlina the Murderer in Four Acts (Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak) dalam layar lebar.  Film yang disebut-sebut sebagai “satay western” ini membuai saya dalam berbagai level. Sebelumnya saya tidak pernah menyukai film koboi. Sepanjang yang saya ingat, setidaknya hanya 2 film bertema koboi western yang saya tonton hingga tuntas yakni Django Unchained (yang durasinya lama betul) dan Rango (ini pun film animasi). Alasannya sangat sederhana dan cethek : gerah liat settingnya :))

Namun hadirnya Marlina The Murderer in Four Acts berhasil membuat saya mengesampingkan alasan bodoh itu. Pertama, kapan lagi bisa lihat film Indonesia sekoboi ini sejak film Koboi Insaf? Kedua, paket yang ditawarkan Marlina sungguhlah menarik. Trailer, poster, berita pemutarannya di Cannes, semua memang menarik. Namun, yang paling bikin tertarik adalah “anomali-anomali” yang bahkan ditunjukkan sejak materi promo diangkat. Banyak pertanyaan di kepala saya yang dibangun jauh-jauh hari.

[setelah baca judul] Siapa Marlina si Pembunuh itu? ada apa di empat babak itu? kenapa empat babak? kenapa Marlina membunuh? [setelah lihat traler]  Whoa, kenapa dia bawa itu kepala orang? kenapa dia naik kuda? siapa pria-pria itu? dan seterusnya dan seterusnya.

Baiklah, saya suka film yang memilliki misi yang jelas dan mampu menyampaikannya ke audiens. Jika bulan lalu Indonesia beruntung memiliki Posesif, yang mengangkat isu abusive relationship di sekitar kita, Marlina mengambil misi perjuangan wanita di tengah rantai kebrobokan sistem dan budaya patriarki yang busuk. Semangat feminisme sangat kental di sini dan dihadirkan dengan cara yang asyik dan tidak terkesan pretensius.

Marlina tidak memiliki cerita yang rumit bin njelimet. Diceritakan, Marlina adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Sial bagi Marlina, suaminya meninggalkan beban berupa hutang menumpuk. Kemudian di satu malam, hidup Marlina tidak lagi sama. Sang penagih hutang datang dan “berjanji’ akan merampok serta memerkosa Marlina bersama kawanan lain. Pada titik paling ekstrim, Marlina melakukan apa saja agar dia bisa selamat.

Beberapa sentilan sosial digambarkan dengan lugas, seperti adegan Marlina melaporkan apa yang terjadi pada dirinya (pemerkosaan) ke polisi setempat. Marlina ibarat pendobrak sistem patriarki yang sudah lekat mendarah daging. Tidak hanya dari Marlina. Isu feminisme juga didengungkan dari karkater-karakter pendukung lain, seperti kisah Novi, teman Marlina, atau bahkan Topan, si gadis kecil yang juga menjadi “korban” sistem patriarki.

Semua dihadirkan melalui banyak detil dan Mouly Surya sebagai sutradara cukup royal memberi ruang bagi audiens untuk meniti tiap detil dengan shot-shot stagnan yang panjang (dan juga indah). Menurut saya pribadi, ini hal yang  pintar untuk menyampaikan pesan dan misinya (meski beberapa lain beranggapan ini membosankan). Selain itu, pemilihan scoring yang menurut saya salah satu terbaik di film Indonesia belakangan ini (terima kasih bung Zeke Khaseli), mampu membangkitkan mood dan nuansa yang tidak saja unik, tapi juga membuat gelisah.

Ada satu detil lain yang menurut saya penting. Jika di dunia maya heboh dengan sup ayam peregang nyawa khas Marlina, saya justru memperhatikan betul penggunaan alat komunikasi berupa handphone di film ini. Adanya alat komunikasi ini menunjukkan bahwa setting waktu Marlina bisa jadi terjadi bersamaan dengan timeline kita saat ini, atau singkatnya : aktual. Marlina hidup di masa kini, masa modern, namun berada di lingkungan yang mengangkat konsep patriarki yang sebenarnya jauh dari kata modern. Terlebih dia hidup di Sumba, yang meski memiliki pemandangan super elok, harus kita akui, Sumba bukanlah Jawa. Sumba masih masuk kategori tempat nun jauh di sana, sehingga nilai-nilai atau konsep yang mengekang hak-hak perempuan masih sangat kuat mengakar.

Ketika nonton Marlina, saya berpikir bahwa, di waktu bersamaan saya nonton Marlina, peristiwa serupa juga terjadi di belahan dunia lain, khususnya Indonesia. Mengutip babak kedua Marlina, yang megambil kata “juang”. Di luar sana pun, saya yakin banyak Marlina lain yang sedang dalam fase sama. Berjuang. Berjuang melawan sistem, berjuang untuk dirinya sendiri, berjuang untuk haknya, berjuang di tengah konsep patriarki yang kadung mendarah daging. Marlina cukup beruntung karena kisahnya ditutup pada babak keempat. Sementara Marlina – Marlina lain, mungkin harus menghadapi sepuluh, dua puluh atau ratusan babak-babak lainnya.

Saya tidak berharap Marlina sukses karena bantuan meme atau parodi tentang sup ayam. Sebagai tontonan memang Marlina selesai ketika kita keluar dari studio, tapi sebagai medium yang memiliki misi dan tujuan yang jelas, saya harap akan banyak diskusi, dialog tentang isu ini agar publik makin tersadar dan tidak ada lagi yang berjuang sendiri di luar sana.

Tinggalkan komentar